PUSDAI

Gagasan  pendirian Pusat Dakwah Islam (Pusdai) atau Islamic Center di Jawa Barat muncul tahun 1977-1978 , saat pemerintahan Provinsi Jawa Barat dipimpin  oleh Gubernur H. Aang Kunaefi (1975-1985 ).

Gagasan tersebut kemudian mulai menjadi pembicaraan hangat  di kalangan umat Islam Jawa Barat,  terutama sejak munculnya instruksi  bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9  dan  30/1979   tertanggal  29  Oktober  1979  tentang perlunya umat Islam menyambut  Abad XV Hijriyah dengan meningkatkan kegiatan dakwah guna menyongsong  “Abad Kebangkitan Kembali Umat Islam.”

Tanggal  19  Oktober 1997, sejumlah ulama, da’i, pakar, cedekiawan, dan pejabat dari berbagai organisasi di Jawa Barat mengadakan diskusi di kantor Bappeda Jabar.  Dalam diskusi itu antara  lain berbicara Gubernur Jawa Barat, Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jabar,  Kakanwil  Departemen Agama Jabar,  perwakilan Angkatan  ‘45,  dan lain-lain. Pada  intinya, mereka mendukung  rencana  pendirian Islamic Center di Jawa  Barat dan meminta pembangunannya segera dimulai.

Diskusi dilanjutkandalam di berbagai  kesempatan dan mencapai puncaknya pada Musyawarah Ulama dan Pemuka Agama Islam seluruh Jawa Barat tanggal 11  September 1980  di kampus Uswatun Hasanah,   Nagrek, Kabupaten Bandung. Dalam musyawarah disepakati untuk segera  merealisasikan  gagasan pembangunan Islamic Center tersebut.

Fungsi Utama
Forum menyepakati pendirian Islamic Center/Pusdai Jabar dengan mengemban dua fungsi utama, yakni :
1. Sebagai  sarana pengembangan dan penyebaran Islam serta kebudayaan Islam di Jawa Barat.
2. Sebagai pusat penggodokan sumber daya manusia umat Islam yang berdaya cipta dan berdaya pembaharuan  yang beriman, bertakwa  , serta berilmu pengetahuan.

Dengan stok No. 593.8/SK. 133-Pem/82,  Gubernur Jabar H. Aang Kunaefi menetapkan, Pusat Pengembangan dan Pengkajian  Islam (Islamic Center) Jawa Barat  itu seyogianya dibangun sebagai satu kesatuan dengan  pembangunan Monumen Perjuangan  Rakyat Jawa Barat, Museum  Perjuangan Rakyat  Jawa Barat, dan Lapangan Upacara Pemda Jawa Barat   di sekitar Jalan Japati dan Lapangan Gasibu Jalan Dipenonegoro Kota Bandung.

Setelah  terbit  stok  gubernur  tersebut,  dimulailah pembangunan  Islamic  Center  yang diawali  dengan pembahasan lahan di daerah Cihaurgeulis, Sukamantri,  Jalan Diponegoro, dan Jalan  Supratman Kota Bandung.

Hampir 10 tahun (1982-1991)  Pemda Jabar melaksanakan pembebasan lahan dan pemindahan (relokasi)  penduduk yang ada di atas  lahan. Untuk keperluan pembebasan lahan dan relokasi itu, Pemda Jabar mengeluarkan biaya sekitar Rp 20 milliar.

Setelah pembebasan lahan serta relokasi penduduk selesai, dimulailah pembangunan fisik Islamic Center (tahun 1992  berdasarkan izin Pemda    Kotamadya Bandung No. 583/637/II/DTK/92) di atas lahan seluas 4,5 Ha.

Kini komplek Islamic Center atau Pusat  Dakwah  Islam  (Pusdai)  Jabar berdiri megah dan menjadi salah satu kebanggaan umat Islam Jawa Barat. Secara fisik, kompleks Pusdai terdiri dari:
1. Bangunan masjid (Masjid Pusdai) berkapasitas 4.600 orang
2. Ruang Seminar Besar (Ruang Cendekia C) berkapasitas 100 orang.
3. Ruang Seminar Kecil (Ruang Cendekia D) berkapasitas 40 orang.
4. Gedung  Bale  Asri (Gedung Serba Guna) berkapasitas 2.000 orang untuk acara pertemuan,  seminar, resepsi, pameran, dan seagainya.
5. Ruang Pameran Mushaf Sundawi.
6. Ruang Perkantoran.
7. Tempat Wudhu Pria dan Wanita
8. Perpustakaan dan Lembaga Bahasa
9. Kantin, Wartel, dan Café
10. Area Parkir
11. Ruang Multimedia.
12. Ruang Lumbung Zakat Pusdai.
13. Ruang Galeri Pusdai.

Seluruh bangunan kompleks Pusdai Jawa Barat itu telah menghabiskan biaya sebesar Rp 27 Milliar. Sebagian besar sumber dana diperoleh dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Jawa Barat.

Secara  fisik, pembangunan berlangsung dari Tahun Anggaran 1991-1992  sampai  dengan  Tahun  Anggaran 1997/1998.  Bila  dihitung dari mulai munculnya gagasan  pembangunan Islamic Center tahun 1997/1998 sampai  dengan selesai pembangunan tahun 1997/1998, pembangunan Islamic Center (Pusdai) Jabar ini berlangsung  selama 20 tahun dan menghabiskan biaya sekitar Rp 49 Milliar.

Visi Pusdai
Sebagai kiblat dan uswah (teladan)  dalam dakwah Islam.

Fungsi Pusdai

Fungsi utama yang dilaksanakan Pusdai Jabar adalah sebagai berikut:
1. MEDIATOR — mediator silaturahim antar umat  dengan ulama, umat  dengan umaro, ulama dengan ulama, ulama dengan umaro, dan umat dengan masyarakat umum.
2. FASILITATOR    — menyediakan fasilitas berbagai   aktivitas umat dalam merealisasikan sebagian progamnya.
3. INOVATOR — terdepan dalam pengembangan pemikiran dan aktualisasi ajaran Islam.
4. KOORDINATOR – koordinasi aktivitas lembaga umat Islam Jawa Barat
5. DINAMISATOR — Sebagai salah satu lokomotif dakwah Islamiyah di Jawa Barat

Masjid atau mesjid adalah rumah tempat ibadah umat Muslim. Masjid artinya tempat sujud, dan mesjid berukuran kecil juga disebut musholla, langgar atau surau. Selain tempat ibadah masjid juga merupakan pusat kehidupan komunitas muslim. Kegiatan – kegiatan perayaan hari besar, diskusi, kajian agama, ceramah dan belajar Al Qur’an sering dilaksanakan di Masjid. Bahkan dalam sejarah Islam, masjid turut memegang peranan dalam aktivitas sosial kemasyarakatan hingga kemiliteran.

Akar kata dari masjid adalah ”sajada” berarti sujud atau tunduk. Kata masjid sendiri berakar dari bahasa Arab. Kata ”masgid” (m-s-g-d) ditemukan dalam sebuah inskripsi dari abad ke 5 Sebelum Masehi. Kata ”masgid” (m-s-g-d) ini berarti “tiang suci” atau “tempat sembahan”

Sejarah

Menara-menara, serta kubah masjid yang besar, seakan menjadi saksi betapa jayanya Islam pada kurun abad pertengahan. Masjid telah melalui serangkaian tahun-tahun terpanjang di sejarah hingga sekarang. Mulai dari Perang Salib sampai Perang Teluk. Selama lebih dari 1000 tahun pula, arsitektur Masjid perlahan-lahan mulai menyesuaikan bangunan masjid dengan arsitektur modern.

Masjid pertama

Ketika Nabi Muhammad saw tiba di Madinah, beliau memutuskan untuk membangun sebuah masjid, yang sekarang dikenal dengan nama Masjid Nabawi, yang berarti Masjid Nabi. Masjid Nabawi terletak di pusat Madinah. Masjid Nabawi dibangun di sebuah lapangan yang luas. Di Masjid Nabawi, juga terdapat mimbar yang sering dipakai oleh Nabi Muhammad saw. Masjid Nabawi menjadi jantung kota Madinah saat itu. Masjid ini digunakan untuk kegiatan politik, perencanaan kota, menentukan strategi militer, dan untuk mengadakan perjanjian. Bahkan, di area sekitar masjid digunakan sebagai tempat tinggal sementara oleh orang-orang fakir miskin.

Saat ini, Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan Masjid al-Aqsa adalah tiga masjid tersuci di dunia

Fungsi Keagamaan

Ibadah

Semua muslim yang telah baligh atau dewasa harus menunaikan shalat lima kali sehari. Walaupun beberapa masjid hanya dibuka pada hari Jumat, tapi masjid yang lainnya menjadi tempat shalat sehari-hari. Pada hari Jumat, semua muslim laki-laki yang telah dewasa diharuskan pergi ke masjid untuk menunaikan shalat ke masjid, berdasarkan al-Jum’ah ayat 9:

يا يها الذين امنوا اذا نودي لصلاة من يوم الجمعة فاسعوا الي ذكر الله

yang berarti bahwa orang beriman, ketika mendengarkan seruan untuk menunaikan shalat Jumat agar bersegera ke masjid untuk mengingat Allah.

Kegiatan bulan Ramadhan

Masjid, pada bulan Ramadhan, mengakomodasi umat Muslim untuk beribadah pada bulan Ramadan. Biasanya, masjid akan sangat ramai di minggu pertama Ramadhan. Pada bulan Ramadhan, masjid-masjid biasanya menyelenggarakan acara pengajian yang amat diminati oleh masyarakat. Tradisi lainnya adalah menyediakan iftar, atau makanan buka puasa. Ada beberapa masjid yang juga menyediakan makanan untuk sahur. Masjid-masjid biasanya mengundang kaum fakir miskin untuk datang menikmati sahur atau iftar di masjid. Hal ini dilakukan sebagai amal shaleh pada bulan Ramadhan.

Pada malam hari setelah shalat Isya digelar, umat Muslim disunahkan untuk melaksanakankan shalat Tarawih berjamaah di masjid. Setelah shalat Tarawih, ada beberapa orang yang akan membacakan Al-Qur’an. Pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadan, masjid-masjid besar akan menyelenggarakan I’tikaf, yaitu sunnah Nabi Muhammad saw. untuk berdiam diri di Masjid ( mengkhususkan hari-hari terakhir ramadhan guna meningkatkan amal ibadah ) dan memperbanyak mengingat Allah swt.

Amal

Rukun ketiga dalam Rukun Islam adalah zakat. Setiap muslim yang mampu wajib menzakati hartanya sebanyak seperlima dari jumlah hartanya. Masjid, sebagai pusat dari komunitas umat Islam, menjadi tempat penyaluran zakat bagi yatim piatu dan fakir miskin. Pada saat Idul Fitri, masjid menjadi tempat penyaluran zakat fitrah dan membentuk panitia amil zakat.

Panitia zakat, biasanya di bentuk secara lokal oleh orang-orang atau para jemaah yang hidup di sekitar lingkungan masjid. Begitupula dalam pengelolaannya. Namun, untuk masjid-masjid besar, seperti di pusat kota, biasanya langsung ditangani oleh pemerintah kota (pemkot) atau pemerintah daerah (pemda).

Fungsi sosial

Pusat kegiatan masyarakat

Banyak pemimpin Muslim setelah wafatnya Nabi Muhammad saw, berlomba-lomba untuk membangun masjid. Seperti kota Mekkah dan Madinah yang berdiri di sekitar Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, kota Karbala juga dibangun di dekat makam Imam Husein. Kota Isfahan, Iran dikenal dengan Masjid Imam-nya yang menjadi pusat kegiatan masyarakat. Pada akhir abad ke-17, Syah Abbas I dari dinasti Safawi di Iran merubah kota Isfahan menjadi salah satu kota terbagus di dunia dengan membangun Masjid Syah dan Masjid Syaikh Lutfallah di pusat kota. Ini menjadikan kota Isfahan memiliki lapangan pusat kota yang terbesar di dunia. Lapangan ini berfungsi sebagai pasar bahkan tempat olahraga.

Masjid di daerah Amerika Serikat dibangun dengan sangat sering. Masjid biasa digunakan sebagai tempat perkumpulan umat Islam. Biasanya perkembangan jumlah masjid di daerah pinggiran kota, lebih besar dibanding di daerah kota. Masjid dibangun agak jauh dari pusat kota.

Pendidikan

Fungsi utama masjid yang lainnya adalah sebagai tempat pendidikan. Beberapa masjid, terutama masjid yang didanai oleh pemerintah, biasanya menyediakan tempat belajar baik ilmu keislaman maupun ilmu umum. Sekolah ini memiliki tingkatan dari dasar sampai menengah, walaupun ada beberapa sekolah yang menyediakan tingkat tinggi. Beberapa masjid biasanya menyediakan pendidikan paruh waktu, biasanya setelah subuh, maupun pada sore hari. Pendidikan di masjid ditujukan untuk segala usia, dan mencakup seluruh pelajaran, mulai dari keislaman sampai sains. Selain itu, tujuan adanya pendidikan di masjid adalah untuk mendekatkan generasi muda kepada masjid. Pelajaran membaca Qur’an dan bahasa Arab sering sekali dijadikan pelajaran di beberapa negara berpenduduk Muslim di daerah luar Arab, termasuk Indonesia. Kelas-kelas untuk mualaf, atau orang yang baru masuk Islam juga disediakan di masjid-masjid di Eropa dan Amerika Serikat, dimana perkembangan agama Islam melaju dengan sangat pesat. Beberapa masjid juga menyediakan pengajaran tentang hukum Islam secara mendalam. Madrasah, walaupun letaknya agak berpisah dari masjid, tapi tersedia bagi umat Islam untuk mempelajari ilmu keislaman.

Kegiatan dan pengumpulan dana

Masjid juga menjadi tempat kegiatan untuk mengumpulkan dana. Masjid juga sering mengadakan bazar, dimana umat Islam dapat membeli alat-alat ibadah maupun buku-buku Islam. Masjid juga menjadi tempat untuk akad nikah, seperti tempat ibadah agama lainnya.

Masjid Raya Cipaganti

Masjid Kaum Cipaganti, atau yang sekarang lebih dikenal sebagai Masjid Raya Cipaganti, Bandung, merupakan saksi sejarah tegaknya Islam di masa pendudukan Belanda Terletak di jalan Cipaganti 85, Masjid Raya Cipaganti merupakan tempat ibadah umat Islam pertama yang berada di kawasan eliat Een Westerns Enclave ( Koloni pemukiman orang Barat). Sebagian kalangan mengatakan Masjid Raya Cipaganti merupakan sumbangan peradaban Islam di Indonesia, khususnya Bandung, dengan gaya arsitektur Islami yang kental nuansa Jawa-Eropa.

Dibangun pada 11 Syawal 1351 H, atau bertepatan dengan 7 Februari 1933 M, Masjid ini sudah menginjak usia 75 tahun lebih. Inisiasinya muncul dari para Inohong Bandung. Saat itu mereka melihat tidak adanya masjid yang cukup representatif di wilayah Utara Bandung.

Sumber pembiayaan pembangunan  masjid didapat antara lain dari bantuan R.A.A. Hasan Soemadipraja, yang juga merupakan salah seorang Inohong Bandung. Disamping itu, terkumpul pula sumbangan golongan bumiputera yang peduli terhadap keberadaan masjid tersebut.

Sebagai satu-satunya masjid yang cukup representatif di zaman Belanda saat itu, karena letaknya yang persis di tepi jalan raya Cipaganti, tentu memiliki daya magnit tersendiri. Jamaah yang datang tidak hanya dari lingkungan sekitar Cipaganti, atau yang dikenal sebagai Banana Street ini. Tapi juga dari kawasan Dago, ITB (Institut Teknologi Bandung), dan wilayah lainnya.

Kian bertambahnya jamaah, membuat kapasitas Mesjid pun harus ditambah.  Maka, tahun 1954, dilakukanlah perluasan di kiri dan kanan bangunan, tanpa merubah bentuk aslinya. Tak berhenti sampai di situ, tahun 1976,  renovasi tahap kedua dilakukan untuk lebih disempurnakan.

Keberadaan Masjid Cipaganti pun melecut para aktivis ITB, untuk membangun sebuah masjid di lingkungan kampus mereka, yang kelak dinamai masjid  Salman. Menurut Samsoe Basarudin, pada sebuah perbincangan beberapa waktu lalu, seorang pakar ekonomi syariah ITB, pada tahun 60-an, setiap kali hendak shalat, para mahasiswa ITB menuju ke masjid Cipaganti sebagai masjid terdekat. Letak masjid yang cukup jauh menyebabkan waktu mereka banyak terbuang di perjalanan. Karena Ingin memiliki tempat ibadah seperti masjid Cipaganti-lah akhirnya terwujud pembangunan masjid Salman, yang didukung oleh Soekarno.

Masjid yang dibangun seorang arsitek terkemuka Belanda, Prof. Kemal C.P Wolff Schoemake ini, menggabungkan langgam arsitektur Eropa dan Jawa. Langgam seni bangunan Jawa terlihat pada penggunaan atap tajug tumpang dua. Menurut Drs. H. solihat,  Sekretaris DKM (Dewan Keluarga Masjid) Masjid Raya Cipaganti, filosofi atap tajug diasosiasikan sebagai jamaah yang bertumpuk-tumpuk memadati masjid untuk beribadah kepada Allah.

Di tengah ruang shalat, Empat tiang penopang yang dipadukan ukiran lafadz hamdallah dengan warna hijau tosca, perpaduan warna hijau dan biru laut, terlihat begitu indah. Menurut Solihat, warna hijau toska yang menghiasi ukiran tersebut, susah sekali ditemukan sekarang.  Langgam arsitektur Jawa lainnya terdapat pada detail ornamen seperti bunga maupun sulur-suluran yang tersebar ditiap ukiran.

Dari segi konstruksi, terlihat jelas langgam arsitektur Eropa. Ini tampak dari penggunaan kuda-kuda segitiga pada interior atap tajugnya (horseshoe arches). Hal lain yang menarik dari bangunan ini adalah lampu gantung bergaya Eropa klasik, yang menggayut di tengah langit-langit ruang utama tempat shalat.

Ciri khas arsitektur Eropa yang mementingkan view, tampak kentara jika dilihat dari arah jalan Sastra di depannya, yang dipenuhi pepohonan rindang. View bangunan masjid yang terbingkai indah dengan rimbunnya pepohonan, menjadi pemandangan yang sungguh luar biasa.

Jika memasuki masjid yang pernah menjadi markas tentara PETA ( Pembela Tanah Air) ini,  melalui pintu utama, ada suatu ornamen yang mencuri perhatian. Mata kita langsung disuguhi oleh indahnya tembok relief motif bunga, berwarna hijau. Letak relief ini persis berada di depan pintu utama yang terbuat dari kayu jati. Sekilas, tembok releif ini seperti menghalangi jalan, namun sesungguhnya dibuat sebagai hijab  untuk menghalangi pandangan dari luar saat ada yang sedang shalat di dalam.

Uniknya, masjid ini tidak memiliki menara atau kubah selayaknya masjid apa umumnya. Meski demikian, gaungan suara masjid ini bisa terdengar sampai Cihampelas. Apa rahasianya? Ternyata Schoemaker sang arsitek mesjid ini, mendesain suatu ruangan “menara tesembunyi” yang terletak di langit-langitnya. Untuk mencapainya, musti melewati tangga terlebih dahulu.

Oleh Dinas Pariwisata Kota Bandung masjid yang dikategorikan sebagai cagar alam ini diamanahi untuk dijaga dan jangan merubah sedikitpun relief tembok tersebut.

Masjid Raya Bandung

Masjid Raya Bandung yang saat ini berdiri megah di sebelah barat alun-alun Bandung sejak pembangunannya pada tahun 1810 sudah mengalami sedikitnya tujuh kali perombakkan.

Pada awal berdirinya, masjid yang diberi nama Masjid Agung Bandung hanyalah masjid tradisional biasa berbentuk bangunan panggung yang terbuat dari bilik bambu dan atapnya dari rumbia dengan kolam tempat mengambil wudhu yang cukup luas dihalaman depannya. Perlu diketahui juga, ternyata kolam besar tersebut pernah berperan penting saat terjadi kebakaran yang melanda kawasan alun-alun yang airnya digunakan warga untuk memadamkan api waktu itu.

Awal perombakkan masjid ini dilakukan pada tahun 1826 dengan mengganti bilik bambu pada dindingnya serta atapnya dengan bahan dari kayu. Seiring pembangunan Jl Groote Postweg, sekarang bernama Jl Asia Afrika, masjid kecil tersebut pun ikut mengalami perombakkan dan perluasan pada tahun 1850. Waktu itu atas instruksi Bupati R.A Wiranatakusumah IV atap masjid diganti dengan genteng sedangkan didingnya diganti dengan tembok batu-bata.

Kemegahan masjid bandung waktu itu sampai-sampai terabadikan dalam gambar oleh seorang pelukis Inggris bernama W Spreat pada tahun 1852. Dari gambar tersebut, terlihat atap yang tinggi dan besar dibuat tiga tingkat berbentuk prisma dan mayarakat menyebutnya dengan sebutan bale nyungcung. Kemudian bangunan masjid kembali mengalami perubahan pada tahun 1875 dengan adanya tambahan pondasi, serta pagar tembok yang mengelilingi masjid.

Seiring perkembangan jaman, masyarakat Bandung menjadikan masjid ini sebagai pusat kegiatan keagamaan yang melibatkan banyak umat seperti pengajian, perayaan Muludan, Rajaban atau peringatan hari besar Islam lain bahkan digunakan sebagai tempat dilangsungkan akad nikah. Sehingga pada tahun 1900 untuk melengkapinya sejumlah perubahan pun dilakukan seperti pembuatan mihrab dan pawestren (teras di samping kiri dan kanan).

Kemudian pada tahun 1930, perombakan kembali dilakukan dengan membangun pendopo sebagai teras masjid serta pembangunan dua buah menara pada kiri dan kanan bangunan dengan puncak menara yang berbentuk persis seperti bentuk atap masjid sehingga semakin mempercatik tampilan masjid. Konon bentuk seperti ini merupakan bentuk terakhir Masjid Agung Bandung dengan kekhasan atap berbentuk nyungcung.

Menjelang konferensi Asia Afrika pada tahun 1955, Masjid Agung Bandung mengalamai perombakan besar-besaran. Atas rancangan Presiden RI pertama, Soekarno, Masjid Agung Bandung mengalami perubahan total diantaranya kubah dari sebelumnya berbentuk “nyungcung” menjadi kubah persegi empat bergaya timur tengah seperti bawang. Selain itu menara di kiri dan kanan masjid serta pawestren berikut teras depan dibongkar sehingga ruangan masjid hanyalah sebuah ruangan besar dengan halaman masjid yang sangat sempit. Keberadaan Masjid Agung Bandung yang baru waktu itu digunakan untuk shalat para tamu peserta Konferensi Asia Afrika.

Kubah berbentuk bawang rancangan Sukarno hanya bertahan sekitar 15 tahun. Setelah mengalami kerusakan akibat tertiup angin kencang dan pernah diperbaiki pada tahun 1967, kemudian kubah bawang diganti dengan bentuk bukan bawang lagi pada tahun 1970.

Berdasarkan SK Gubernur Jawa Barat tahun 1973, Masjid Agung Bandung mengalami perubahan besar-besaran lagi. Lantai masjid semakin diperluas dan dibuat bertingkat. Terdapat ruang basement sebagai tempat wudlu, lantai dasar tempat shalat utama dan kantor DKM serta lantai atas difungsikan untuk mezanin yang berhubungan langsung dengan serambi luar. Di depan masjid dibangun menara baru dengan ornamen logam berbentuk bulat seperti bawang dan atap kubah masjid berbentuk Joglo.

Perubahan total terjadi lagi pada tahun 2001. Proses pembangunan berlangsung sangat lama hingga memakan waktu dua tahun lebih hingga akhirnya diresmikan oleh Gubernur Jawa Barat R Nuryana pada tahun 2003 dengan nama baru, Masjid Raya Bandung. Seperti yang kita lihat sekarang terdapat dua menara kembar di sisi kiri dan kanan masjid setinggi 81 meter yang selalu dibuka untuk umum setiap hari Sabtu dan Minggu. Atap masjid diganti dari atap joglo menjadi satu kubah besar pada atap tengah dan yang lebih kecil pada atap kiri-kanan masjid serta dinding masjid terbuat dari batu alam kualitas tinggi. Kini luas tanah keseluruhan masjid adalah 23.448 m² dengan luas bangunan 8.575 m² dan dapat menampung sekitar 12.000 jamaah.

Namun sayang, letak Masjid Raya Bandung yang berada di pusat keramaian sekarang lebih banyak dimanfaatkan oleh para pedagang kaki lima dan pengemis yang berjejer di teras, halaman dan trotoar masjid untuk mencari nafkah sekaligus tempat beristirahat para pelancong. Akibatnya nilai sipiritual Masjid Raya Bandung sedikit tergeser karena yang tampak hanyalah kesemrawutan para pedagang daripada jamaahnya. (BB-211)